Tatapan matanya dingin dan tajam. Kulit sawo
matang membalut tubuh kekar pemuda itu.
Aku tidak tahu
apa-apa tentangmu. Yang aku tahu, pagi kamu datang ke sekolah, jam istirahat
kamu di perpus dan pulang sekolah kamu dijemput. Pemuda beku misterius yang
telah mencairkan hatiku, siapa namamu? Sesekali ingin ku menyapa, dan
berkenalan dengan mu. Walaupun hanya sekedar bertanya, “Hai, siapa namamu?”.
Itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Hari ini sekolah
pulang lebih awal. Salah satu orang tua guru meninggal. Semua kelas IPA ikut
melayat, kecuali kelas ku. Eh , tidak, kelas si pemuda beku juga tidak ikut
melayat. Seperti hari biasanya, pemuda beku berjalan santai ke halte bus depan
sekolah. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan mengendap-endap seperti
maling. Tapi sepertinya dia memperhatikanku. Saat dia menoleh kebelakang, aku
menghentikan langkahku. Rasanya seperti berhenti degup jantung ku. Tuhan,
untung dia tidak melihatku. Aku menunggu si pemuda beku beranjak dari tempat
duduknya. Akhirnya, tidak lama kemudian seorang wanita muda menjemputnya. Siapa
itu? Ibunya atau kakaknya? Hahhh.. siapa saja asal bukan kekasihnya. Beberapa
hari berikutnya, masih saja aku membuntuti si pemuda beku.
Hujan deras
sekali sejak pagi. Kelas-kelas pun banyak yang banjir. Payah sekali sekolahku
ini, kemana dana pembangunan yang diberikan pemerintah kemarin ya. Hhhh,,, eh
ada pemuda beku idamanku. Masih berjalan dengan santai menuju halte bus di
depan sekolah. Siang ini dia terlihat beda, terkesan lebih lembut. Dengan
sweater abu-abu dan syal yang melingkari lehernya. Tak lupa juga payung
ditangan kirinya. Sepertinya dia sangat kedinginan sampai-sampai harus memakai
kostum seperti itu. Tapi wajahnya aneh, bibirnya agak biru dan wajahnya pucat.
Pemuda beku itu benar-benar terlihat sangat beku.
Hari ini rasanya
beda, seperti ada yang kurang. Ya, dimana pemuda beku itu? Terpaksa aku ke
kelas IPA 2, demi si pemuda beku. Tapi aku tidak melihat batang hidungnya.
Dimana lagi bisa ku temukan pemuda beku itu, perpus! Ya , perpustakaan kan
memang kandangnya waktu jam istirahat. Aku mempercepat langkahku demi si pemuda
beku. Aku melongok dari jendela, tidak ada! Kemana dia?
Sudah satu minggu
pemuda beku idaman ku menghilang. Apa dia pindah sekolah? Atau jangan-jangan
dia sakit? Tidak !! Aku bahkan tidak tau apa yang terjadi, tidak satupun. Seandainya
aku tahu namanya, seandainya aku tahu alamat rumahnya pasti tidak akan seperti
ini. Teeeettttt..Teeeettttt..Teeeettttt, Bel tanda pengumuman berbunyi.
Murid-murid IPA 2 meninggalkan kelas dengan isak tangis. Dari pengeras suara
samar-samar terdengar Innalillahi.. sepertinya salah satu orang tua murid
meninggal.
Kulangkah kan
kaki dengan gontai, meskipun hujan mengguyur sekujur tubuhku. Aku rindu jalan
mengendap-endap mengikuti pemuda beku itu. Tidak terasa air mataku meleleh. Inilah pertama kalinya aku menangis
karena seorang laki-laki. Termenung aku duduk di bangku halte, masih terbayang
pemuda beku. Tiba-tiba seorang wanita muda menghampiriku. Wanita yang sering
aku lihat, ya, dia yang setiap hari menjemput pemuda beku idamanku.
“Khoirunnisa
Aulia Husna ?”, Tanya wanita muda itu.
“Iya, saya
sendiri,” jawabku.
“Ikutlah
denganku,”pintanya.
Tanpa bertanya
lagi aku mengikuti langkahnya, dan masuk kedalam mobilnya. Aku dibawa kesebuah
pemakaman baru. Masih segar bunga-bunganya, masih merah tanahnya. Siapa yang meninggal?
“Dia
sudah pergi, seminggu yang lalu. Dia ingin kamu melihatnya untuk yang terakhir
kali, meskipun dia tidak pernah sanggup mengatakan, tapi dia sangat
menyayangimu,”kata wanita itu.
Arrangga
Dewantara, 20 April 1989. Wafat 21 November 2007.