Mak terbujur kaku di pembaringan. Matanya tertutup rapat, terlihat sangat lelah. Tangan dan kakinya seperti tulang yang dibalut kulit. Kulihat bibir Mak yang kini biru, bibir hangat yang selalu mengecup kening ku sebelum berangkat ke sekolah , 20 tahun yang lalu. Kenapa semua orang diruangan ini menangis ? Mak hanya tertidur karena sangat lelah seharian menjual gorengan. Atau mungkin Mak lelah menunggu ku?
“Mak, bangun , Arum pulang Mak ,” bisikku di telinga Mak.
Ku goncangkan tubuh renta itu, tidak juga bereaksi. Aku cubit gemas pipi keriputnya, tidak juga bergeming ku peluk Mak dengan erat, tetapi Mak tidak juga bangun. Aku kesal dibuatnya, sudah 10 jam aku menunggu Mak bangun.
Mungkin Mak marah, sudah 5 tahun aku tidak pulang kerumah. Setelah lulus kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Karena rutinitas yang banyak aku tidak sempat pulang ke Malang untuk sekedar melihat keadaan Mak. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, sibuk dengan calon suamiku dan sibuk dengan pencalonan sebagai anggota DPR. Ya, aku ingin sekali menjadi anggota DPR. Mobil dan rumah mewah, terkenal, dikagumi, aku mau semua itu. Sampai-sampai aku lupa pada Mak yang telah melahirkanku.
“Bangun, Mak !”
Seseorang berbisik ditelingaku, Mak sudah tiada. Bukan, itu bukan bisikan tapi lebih menyerupai petir yang menyambar telinga kanan ku. Dan tiba-tiba gelap, aku tidak bisa melihat Mak. Kemana perginya orang-orang tadi? Seberkas cahaya kecil, seperti senthir membuyarkan lamunanku. Mak datang dengan kebaya putih lengkap dengan sanggulnya yang khas. Tak lupa kalung kesayangannya, hadiah dari almarhum Bapak, 30 tahun yang lalu.
“Mak, Mak kemana saja?”
“Mak tidak kemana-mana Arum, Mak ingin pergi tapi Mak mau menunggu kamu, Nduk.”
“Mak mau kemana?”
“Mak mau diambil Gusti, Nduk.”
“Gusti itu siapa Mak? Kenapa Mak mau diambil? Siapa yang memberi ijin Gusti untuk mengambil Mak?”
“Jangan begitu Nduk, nanti Gusti marah.”
“Mak, bilang sama Gusti, Mak harus kembali. Arum sudah menunggu Mak hampir 10 jam, kenapa Mak tidak juga bangun? Arum lelah menunggu, Mak.”
“Kamu lelah, Nduk? Tidak tahu kah kamu, sudah 5 tahun Mak menunggumu. Selama itu kamu kemana, Nduk? Pernahkah Mak lelah selama itu?”
“Maukah Mak memaafkan Arum?”
“Ikutlah dengan Mak, ikutlah kembali pada Gusti !”
“Tidak, Mak! Aku masih mau menikah, aku masih mau jadi angota DPR!”
Tiba-tiba terdengar suara gamelan, Mak menari-nari seperti ledhek yang sering dipentaskan untuk mengantar arwah. Mak menarik tanganku , aku mencoba melepaskan tangan Mak sekuat tenaga. Jangan, aku masih ingin meraih mimpiku, Mak. Aku hanya ingin Gusti mengembalikan Mak padaku. Maafkan aku Mak. Ruangan tiba-tiba gelap, aku berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
Ternyata aku pingsan diatas makam, Mak.
No comments:
Post a Comment